Imlek Sebuah Tradisi yang Tak Lagi Tradisi

Sudah lama nih gak post di sini. Nah kali ini saya mau sharing sedikit aja, ya ngobrolĀ² kita. Meski tidak bahas soal katekese atau sejenisnya, tapi ini bisa buat refleksi aja sih.

Jadi kebetulan besok itu kan libur dalam rangka Hari Raya Imlek atau Tahun Baru China, dimana tahun baru berdasarkan kalender bulan. Yaps, orang China sana menggunakan kalender berbasis lunar calender. Jadi kalender China itu menggunakan perhitungan dari pergerakan bulan dan matahari sebagai kalendernya.

Pada tahun ini, tahun baru China yang ke-2576, sebagai tahun ular kayu. Ya itu sekedar informasi awal ya. Lalu apa si yang buat saya terpancing untuk sharing atau diskusi pada postingan ini?

Jadi begini, saya mendengar dibeberapa kesempatan ketika ada praktisi atau tokoh lah lebih tepatnya ditanya seputar perayaan atau hari raya imlek ini, mereka selalu menyelipkan informasi atau meluruskan soal hari raya Imlek yang hakiki itu apa sih sebenarnya, budaya atau merupakan bagian hari raya keagamaan?

Ilustrasi, suasana perayaan imlek yang meriah. Gambar diambil dari Google

Jadi mayoritas orang masih berpikir bahwa imlek ini merupakan sebuah tradisi atau budaya semata. Semua serba merah, ada ornamenĀ² lampion, pagelaran seni barongsai, budaya berbagi angpao, kue keranjang, kue bulan serta ornamenĀ² lainnya perihal memeriahkan tahun baru China atau Imlek ini.

Tapi ada hal yang menarik dari komentar pemerhati atau yang paham soal perayaan atau hari raya ini. TokohĀ² ini berasal dari agama Konghuchu.

Kalian tahu kan agama Konghuchu, merupakan agama ke-6 yang kembali disahkan oleh negara Indonesia sebagai salah ke-6, sebagai agama yang resmi diakui di Indonesia.

Jika mundur kebelakang, penetapan kembali agama ke-6 ini tidak lepas dari upaya almarhum Presiden Gusdur. Dimana sebelumnya (orba), keyakinan Konghuchu hanya dianggap sebagai aliran kepercayaan. Dan supaya mereka tetap bisa 'ada', mau gak mau mereka melebur dengan agama atau keyakinannya yang ada diakui saat itu, umumnya melebur dalam aktivitas keagamaan umat Budha. Sehingga apapun soal perayaan imlek jadi hanya sebatas perayaan budaya saja, bahkan pada masa orde baru tidak boleh ada itu ornamenĀ² berbau Tionghoa di publik.

Sebentar kita menilik sejarah, ya "sejarah", sebuah kata yang selalu saya ulang berkali-kali dalam postingan di semua blog pribadi saya ketika berurusan dengan keyakinan. Karena bagi saya time line sejarah sangatlah penting dalam memahami konsep waktu yang sebenarnya.

Jadi agama Konghucu diakui secara resmi oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1965, bersamaan dengan lima agama lainnya. Namun sejak peristiwa G-30-S PKI, agama Konghucu dikeluarkan dari status agama resmi. Pada masa Orde Baru, pemerintah Soeharto mengeluarkan instruksi presiden yang melarang tradisi Tionghoa, termasuk Konghucu, dipraktekkan secara terbuka.

Baru setelah pemerintahan Presiden Gusdur almarhum, tepatnya tahun 2000an, agama Konghuchu dikembalikan menjadi resmi kembali secara utuh. Jadi tahu kan, pada pemerintahan siapa terjadi pembredelan soal hak asasi manusia ini? Ya, Soeharto, dingat baik ya soal ini, dan atas jasa siapa dikembalikan. Ini supaya kita bisa memahami oleh siapa hilang dan oleh siapa dikembalikan ke jalurnya.

Kita kembali lagi, sejak tidak diakui pada masa orde baru tadi, budaya atau tradisi Imlek ini kan seperti dibuat klandestein. Sehingga tradisi imlek ini seperti melebur atau menyamarkan diri dengan sendirinya. Hal ini tidak  banyak dipahami orang di Indonesia sampai saat ini.

Tapi sejak agama Konghuchu kembali mendapatkan tempatnya di Indonesia. TokohĀ² agama Konghuchu mulai meluruskan apa yang sebenarnya.

Bahwa Hari Raya Imlek ini merupakan salahĀ¹ dari hari raya besar umat yang beragama Konghuchu. Sama seperti agamaĀ² lainnya memaknai sebuah hari raya keagamaan. Seperti di Muslim ada Tahun Baru Islam. Di Katolik ada dirayakan Tahun Yubelium yang tengah kita rayakan beberapa waktu kedepan ini.

Kembali ke topik, jadi kita diajak memahami bahwa tahun baru Imlek ini merupakan hari rayanya umat Konghuchu, yang selama ini melebur dalam sebuah budaya agar bisa tetap eksis di Indonesia. Tapi ketika kini mereka telah mendapatkan hak kebebesan beragama, apa yang selama ini menjadi budaya dikembalikan kepada makna perayaan sesungguhnya.

Tapi bukan berarti kita tidak bisa ikut atau sekedar merayakan pesta budaya dengan ornamenĀ² imlek ini yang serba merah. TokohĀ² agama Konghuchu tetap mempersilahkan. Namun mereka tetap mensosialisasikan pemahaman yang selama ini kurang tepat ke porsi yang tepat.

Jadi harapannya masyarakat bisa memisahkan mana yang budaya dan mana yang Hari Raya Tahun Baru Imlek. Itu intinya dari apa yang saya bahas di sini.

Di Gereja Katolik, ketika imlek, gereja sering mengadakan misa syukur untuk perayaan imlek ini, untuk mereka yang merupakan etnis Tionghoa untuk mengucap syukur atas tahun baru dalam penanggalan kalender China, dengan cara bersyukur sesuai keyakinan gereja Katolik.

Mereka adalah etnis Tionghoa yang telah memilih Kristus sebagai jalan kehidupan dan kebenaran dengan tidak melupakan siapa nenek moyang mereka. Orang Katolik pasti paham, dimana Gereja Katolik selalu bisa fleksibel menerima inkulturasi budaya. Tidak mengkultuskan budaya tertentu yang bukan budaya aslinya. Katolik adalah soal iman dan keyakinan, ajaran kasih yang utama. Tidak memandang dari mana etnisnya. Jadi tidak memaksakan budaya Roma misalnya, budaya Eropa, atau budaya Yahudi seperti dimana Yesus lahir. Tidak demikian jika dalam Katolik atau Kristen pada umumnya.

Orang Katolik atau orang Kristen itu tidak memaksa umatnya "keroma-romaan" atau "keyahudi-yahudian" atau "keapa-apaan yang lainnya". Intinya tetap bisa menyesuaikan dengan sosial budaya masyarakat setempat, yang terutama adalah soal iman Nya. Paham?!?

Namun ada pertanyaan, selama ini ketika agama Konghuchu belum mendapatkan tempat di negara ini, budaya imlek ini identik dengan agama Budha, dimana umat Budha ramai berkunjung ke Vihara atau Klenteng, dan pasti ketika imlek, suasananya berbeda di sana.

Misalnya ambil contoh, Vihara/Klenteng Dewi Welas Asih di Kota Cirebon. Sejak kecil saya mengenal tempat ini sebagai tempat ibadah teman saya yang beragama Budha, teman saya sering ke sana. Teman saya sering menyebutnya Vihara, kadang menyebutnya Klenteng.  Nah nama tempat ini sering disebut juga sebagai Vihara/Klenteng Dewi Welas Asih, dimana ketika imlek pasti perayaannya sangat kentara di sana. Lalu, kita semua tahu Vihara itu adalah tempat ibadah umat Budha dan Klenteng kita tahu sebagai tempat ibadah umat Konghucu Lalu, bagaimana pemisahannya?

Ilustrasi salahĀ¹ Wihara Arya Dwipa Arama belokasi di area Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Gambar diambil dari Google

Ilustrasi Klenteng Kong Miao, berlokasi di area Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Gambar diambil dari Google

Saya coba share dua gambar berbeda untuk kita mudah memahaminya. Bahwa Wihara dan Klenteng pada dasarnya berbeda.

Hanya saja jika di sekitar mu masih ada yang menyatukan Wihara atau Klenteng, itu adalah warisan dari rezim sebelumnya yang memaksa atau membatasi umat Konghuchu melakukan ibada mereka secara normal kala itu. Mungkin apabila rezim Orde Baru tidak melakukan hal demikian, pasti kita akan temui perbedaan yang nyata diantara keduanya.

Atau bisa juga sih, masalah kesulitan membangun tempat ibadah bisa saja dialami saudara kita ini, sama seperti umat Kristen yang sudah khatam bagaimana sulitnya membangun gereja di wilayah Indonesia Raya ini.


Nah ini saya juga bingung, tapi saya baru tahu informasi ini (yang akan saya bahas) untuk menjawab apa yang saya tanyakan di atas. 

Jadi nama Wihara Dewi Welas Asih baru digunakan dalam beberapa puluh tahun terakhir. Sebelumnya wihara itu bernama Tio Kak Si, nama tersebut digunakan sejak Vihara tersebut berdiri hingga masa pemerintahan Orde Baru. Sejak masa Orde Baru namanya diubah menjadi Wihara Dewi Welas Asih dan digunakan hingga sekarang.

Penulisan yang benar adalah Wihara ya, kalau Vihara itu istilah dari bahasa Sansekerta. Kata wihara berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu vihāra.

Nama Dewi Welas Asih diambil dari rupang Dewi Kwan Im yang ada di tempat ini yang merupakan peninggalan sejak masa awal kedatangan warga Tiongkok ke Tanah Jawa. Berdasarkan manuskrip dari Keraton Kasepuhan disebutkan bahwa wihara tersebut telah berdiri pada tahun 1559.

Saat ini tempat ini digunakan untuk beribadah umat Budha dan Konghuchu di wilayah Cirebon dan sekitarnya.

Mari kita cari tahu teori pemahaman terkait perbedaan antara Wihara dan Klenteng ya, supaya bisa belajar memahami, gak seperti katak dalam tempurung, dan jadi orang yang merasa paling saleh dan yang lain kafir.

Klenteng dan Wihara adalah tempat ibadah dari etnis Tionghoa yang berbeda agama. Perbedaannya terletak pada agama yang dianut, fungsi, arsitektur, dan umat yang beribadah. 

Dimana Klenteng adalah tempat ibadah umat Khonghucu atau Taoisme dan Wihara adalah tempat ibadah umat Budha. Dari sisi fungsi, Klenteng berfungsi sebagai tempat ibadah dan sosial masyarakat dan Wihara berfungsi sebagai tempat ibadah spiritual. Dari sisi arsitektur, Klenteng berarsitektur tradisional Tionghoa dengan ornamen naga, lampion, simetris, dan berwarna merah dan Wihara biasanya berarsitektur lokal dan berbentuk bangunan biasa, rumah tingkat, atau gedung besar. Wihara umumnya tidak memiliki banyak patung. Biasanya hanya ada patung Buddha atau patung Kwan Yin. Sementara, lenteng memiliki banyak patung-patung dewa-dewi dan lilin-lilin besar. Dari sisi cara beribadah, Klenteng umat bisa beribadah sendiri-sendiri dan Wihara umat beribadah dengan berjemaat, beramai-ramai.

Nah ternyata ini yang membuat mayoritas orang Indonesia salah kaprah dan dibingungkan dengan Klenteng atau Wihara, seringnya menganggapnya sama.

Jadi kita kan tahu, pada jaman Orde Baru, sempat terjadi pelarangan atas budaya Tionghoa, termasuk di dalamnya keberadaan Klenteng. Karena itu, banyak KlentengĀ² yang mengubah nama dan di-Indonesia-kan menjadi Wihara.

Contoh itu adalah Klenteng Jin De Yuan di Petak Sembilan, salah satu Klenteng tertua di Jakarta namanya berubah menjadi Wihara Dharma Bhakti. Agar supaya kelangsungan peribadatan bisa berjalan meski dalam tekanan pelarangan pada rezim kala itu.

Kini ketika semua sudah dikembalikan seperti semula, kita harus paham yang sebenarnya dan perbedaan diantara keduanya. Itu pula kenapa tokohĀ² Konghuchu mulai gencar menjelaskan atau meluruskan bahwa Hari Raya Imlek itu merupakan hari raya mereka yang berakar dari apa yang bertumbuh di China sana dan kemudian menyebar ke segala penjuru dunia, ya salahĀ¹ nya mendarat di Indonesia ini.

Meskipun Imlek ini merupakan hari raya umat Konghuchu, dari pihak mereka tidak melarang jika umat agama lain menganggap apa yang sudah terjadi sebagai suatu budaya dan bisa dirayakan bersama sebagai sebuah perayaan budaya. Namun pelurusan hal yang benar tetap mereka sampaikan agar umat mayoritas memahami apa yang sebenarnya.


Ini serupa seperti usaha Gereja Katolik atau umat Kristiani mengembalikan hari raya mereka sesuai sejarahnya. Dimana bertahun-tahun Yesus Kristus dikenal sebagai Isa dan umat Kristen saat itu hanya bisa terima begitu saja atas kerancuan dan keanehan itu, sampai akhirnya umat Kristiani mengajukan hal yang benar menurut iman Kristen, bahwa Kristen tak mengenal siapa Isa, tetapi umat Kristen dunia hanya mengenal Yesus Kristus Sang Almasih, bukan "isa almasih".

Serupa tapi tak sama. Itulah dia yang ingin saya share pada postingan kali ini. Semoga yang Kristiani juga tercerahkan soal ini, supaya paham juga bahwa Imlek merupakan hari rayanya saudara kita yang berkeyakinan atau beragama Konghuchu.

Jika kita tetap menganggapnya sebagai perayaan budaya dan merayakan budaya tersebut dalam festival lampion, tradisi berbagi angpao, pernak-perniknya, atraksi barongsai dsb., itu tidaklah masalah.

Sebagai penutup, masa iya iman mu luntur hanya karena budaya dan tradisi orang lain, kamu beriman atas dasar apa jika iman mu selemah itu. Camkan itu dan instropeksi dirilah. Masa iya, iman mu lemah sama pernak-pernik natal dan imlek. Jangan sampai orang mengatakan, "lemah sekali imanmu!" Lalu kamu bisa ya cuma ngamook, dan mengecam sana-sini dengan dalil, "penistaan agama", sungguh kekanak-kanakan sekali.

Segitu saja sharingĀ² dan diskusinya, sisanya kalau mau berdiskusi bisa dilanjutkan dikolom komentar ya. Jadilah umat beragama yang punya pemahaman luas, sehingga bisa bergaul dengan siapa saja tanpa memandang bahwa semua harus sama. Yang harus sama itu cara memahaminya, supaya ada titik temu diantara perbedaan. -cpr

#onedayonepost
#harirayaimlek
#konghuchu
#taoisme
#kristiani
#katolik

Posting Komentar

0 Komentar