Soal Rasa Sajakah Kamu? Ataukah Berakal Budi?

Hari ini saya dapat sebuah pencerahan bagus, soal "rasa dan akal budi". Postingan ini sekedar sharing pribadi saja sih, ya syukur² bisa menggugah. Soalnya saya sendiri jadi 'terbuka' dengan frasa tadi, "rasa dan akal budi".

Saya dapat frasa ini dari seorang teman dari Ekaristi Minggu Paskah V, di Paroki St. Theresia, Pandaan.

Sebenarnya ini hanya salah¹ bahasan dalam khotbah romonya kala itu, tapi menurut saya menarik, apa yang diceritakan teman saya ini. Karena relate dengan kehidupan sehari-hari, mungkin juga kehidupan iman Kristiani kita.

Ilustrasi, gambar diambil dari Google

Kita sering kan, pergi ke gereja rajin itu karena romonya enak, khotbahnya enak, menyenangkan, dan bikin gak ngantuk. Atau mungkin juga senang ke gereja dengan Romo A, karena khotbahnya cepat jadi misalnya cepat selesai.

Bisa juga sebaliknya, ah males ah misa pas romonya Si B, gak enak khotbahnya gak ngerti, lama, panjang lebar, ngantuk, misanya jadi lama selesai. Males ah, cari Romo lainnya saja baru misa.

Kedua contoh itu sering kita lakukan, entah kita sendiri, atau orang lain yang kita kenal tahu dan ngalami itu.

Nah apabila kita melakukan seperti itu, kita berarti melakukan sesuatu hanya atas dasar "rasa". Ya rasa suka dan tidak suka. Ekaristi hanya didasarkan atas "rasa" saja. Kita rasanya suka, ya suka, bersemangat, menggebu-gebu, Ekaristi menjadi sebuah rasa yang menyenangkan. Tapi jika sebaliknya, rasanya tidak suka, yang terjadi adalah sebaliknya, dismotivasi mungkin, bisa jadi, atau bahkan berusaha menghindari.

Kalau saya pribadi, untungnya sudah gak lagi seperti diatas, kalau dulu ya waktu masih jaman muda², ya kadang seperti itu. Masih menggunakan "rasa", kalau sekarang di-case seperti di atas sudah gak. Kalau yang lain, ya masih sih, dan dari sini, khotbah soal "rasa dan akal budi" cukup mengena.


Romo berpesan, bahwa hendaknya kita juga menggunakan "akal budi", gak cuma soal "rasa". Jadi apabila kita masih melakukan seperti di atas tadi, kita berarti hanya mengandalkan "rasa", tidak menggunakan "akal budi".

Ini, Romo menggunakan contoh sederhana. Misalkan, iya bener, romonya ini kalau khotbah memang panjang, kemudian menggunakan bahasa filsafat yang butuh energi lebih untuk memahami. Kalau soal "rasa" iya tidak suka. Tapi dengan "akal budi", kita tidak lagi memikirkan soal tidak suka itu, suka atau tidak suka, di sana (baca: Ekaristi), Kristus Yesus lah yang memimpin di sana. Di sinilah, "rasa dan akal budi" sebagai manusia sudah bekerja.

Jadi gak ada lagi tuh, milih² Romo atau milih² jam misa, yang ini itu dll. Semua nya dilakukan dengan "rasa dan akal budi".

Romo bercanda begini, ya misalkan wes emang romonya ini memang khotbahnya lama dan filsafat sekali, misalnya. Ya sudah, pas khotbah ya tidur saja, tapi tetap di gereja kan, walaupun tidur di gereja. Tapi masih lebih baik tidur di gereja daripada tidur di rumah. Romo sempat berkelakar begitu, untuk menunjukan bahwa kita itu harus menggunakan "rasa dan akal budi".


Akhirnya apa yang disampaikan Romo itu jadi bener² membuka pikiran saya, ya bisa lebih (+) lagi sih.

Hmm, tapi gini, Romo kan bisa berkelakar, hmm rasanya saya juga bisa si.

Kebetulan di kantor saya itu ada kegiatan rutin setiap Jumat, yakni acara Persekutuan Doa, ketika teman² yang Muslim itu sholat Jumat, kita yang Kristiani berkumpul melakukan PD.

Namun, anggota PD kita itu ya orangnya itu² saja, padahal banyak Kristiani, namun ya hanya itu² saja. Alasan yang lain gak mau ikut PD ya beragam.

Jika dihubungkan dengan apa kata Romo tadi, ya soal "rasa" tadi. Kebanyakan dari kita itu masih menggunakan "rasa" saja, "akal budi" tidak digunakan. Entah karena gak suka sama seseorang, jadinya gak ikut PD ini.

Nah, saya berkaca pada diri sendiri. Saya pun mengalami fase itu, gak suka pada salah¹ anggota PD ini, karena apa yang diucapkan tidak sesuai dengan kenyataan, atau bisa berbicara, realita perilaku nol besar.

Beberapa kali saya absen ikut PD karena ybs. ikut PD. Nah, apa yang saya lakukan ini ternyata ya hanya menggunakan "rasa" saja, padahal ketika kita PD, kita itu untuk merasakan kasih Tuhan di sana, bukan soal "rasa" saja, gak suka dengan si A, si B dll.

Tapi seiring waktu saya kembali ikut PD dan berusaha meminimalisir absen. Uih, berarti saya sudah menggunakan "rasa dan akal budi" dong.

Hmm, gimana ya, bisa dibilang iya, bisa dibilang tidak juga. Ya ini yang saya maksud kelakar seperti yang Romo bilang tadi. "Tetaplah ke gereja, meski pas khotbah tidur, mending tidur di gereja daripada tidur di rumah."

Nah saya secara gak langsung menggunakan "rasa dan akal budi". Saya menggunakan akal sehat saya untuk mensiasatinya. Dengan apa?

Saya pindah saja acara PD nya ke tempat yang sekiranya gak mungkin dijangkau oleh si A, otomatis si A ini jadi kesulitan jika mau ikut PD karena lokasinya pindah, lebih jauh atau butuh effort untuk ikut PD. Dengan begitu saya bisa tetap ikut PD tanpa harus absen karena ada si A ikut.

Hal (+) lain, dengan pindah tempat bisa menarik teman² lain bisa ikut PD, karena sekarang acara PD nya lebih dekat dari area kerja mereka, gak perlu jauh², karena kita jemput bola.

Inilah yang dinamakan menggunakan "rasa dan akal budi". Dalam hati ingin tertawa 😂, benar² ber-akal licik ini sih namanya 🤫.

Yups ☝️, itu tadi hanya kelakar jokes ya. Harusnya tetap tidak boleh begitu.

Siapapun, tidak usah melihat orang lain, tapi lihatlah bahwa kita melakukan sesuatu itu karena Tuhan, bukan karena manusia. Itulah yang seharusnya, jadi apa yang perlu digunakan adalah "rasa dan akal budi" itulah yang seharusnya.


Ya itu sih sharingnya, soal "rasa dan akal budi", ya ini refleksi dari apa yang disampaikan Romo, dan ternyata emang relate dengan kehidupan sehari-hari kita.

Nah, bagaimana dengan kalian, apakah mungkin ada yang mengalami hal serupa?

Sharing dikolom komentar ya, postingan ini sebenarnya ingin membuka pikiran saja, bahwa sudahkah kita menggunakan "rasa dan akal budi" sebagai domba² kawanan dari gembala kita, Yesus Kristus sendiri. Semoga kita jadi domba² dari kawanan Nya yang baik seturut kehendak Nya. -cpr-

Posting Komentar

0 Komentar