Mimin tiba² tertarik pada instrumental dari status teman yang tengah prehatin dengan kondisi saat ini, ketika kita berada pada situasi pandemi seperti ini, setiap hari ada saja kabar duka yang datang, baik yang sakit karena positif, hingga ada yang meninggal.
Mimin sendiri setiap hari kerap menemui lokasi dimana di situ ada yang sedang berduka, ada yang meninggal di sana.
Disaat kita manusia tidak bisa berpegang pada dunia, hanya pada Tuhan kita berpegang, meski Tuhan tidak tampak namun berkatnya nyata dalam hidup kita sehari-hari, tentunya bagi yang percaya.
Lalu, instrumen lagu atau lagu apa yang buat mimin tertarik?
Jadi ini ternyata adalah sebuah puisi yang kemudian diberikan aransemen musik, dan ini cocok sekali didengarkan saat kita menuju proses hening menuju doa, sebagai sarana instropeksi diri.
Oh iya, supaya gak males baca catatan ini, bisa sambil mendengarkan ya, putar play pada tautan video di atas.
Jadi puisi ini merupakan puisi doa karya RP. Dr. Ignatius Kuntara Wiryamartana, SJ (alm.), berjudul Panyuwunan (Permohonan). "Tuhan, saya mohon kesehatan, obat, sukacita, dan kesabaran.
Merupakan rohaniawan Katolik, pakar sastra jawa kuno. Beliau sudah almarhum, beliau meninggal di Semarang, 26 Juli 2013 diumur 66 tahun. Beliau pernah menjadi dosen di Universitas Gajah Mada dan Universitas Sanata Dharma.
Nama beliau disebut ketika lagu tadi dinyanyikan, karena orang pasti akan bertanya karya siapakah tadi? Mimin saja mencari tahu dan tersebutlah nama beliau ini dan ternyata beliau merupakan rohaniawan Katolik. Puisi yang dilagukan ini terdengar universal, tidak merujuk pada iman tertentu, karena budaya sifatnya universal. Jika ada yang mengkait-kaitkan itu mereka yang penalarannya sempit, kita tahu siapa² mereka.
Puisi doa ini ditulis Rom Kun, begitu dia disapa, menulis syair geguritan ini ketika berada di sebuah pantai. Geguritan dalam bahasa Jawa itu dikumpulkan dalam sebuah buku oleh RP. Dr. Gregorius Budi Subanar, SJ berjudul Sraddha - Jalan Mulia - Dunia Sunyi Jawa Kuna. Geguritan karya Romo Kun sendiri berjudul Oesapa. Oesapa merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, NTT.
Lagu yang dinyanyikan merupakan bagian refren. Untuk lagu yang asli dipublikasikan awal itu oleh Dimawan Krisnowo Adji, dengan arr. koor oldh Dimawan Krisnowo Adji & Mikael P. Adi Nugroho. Itu yang kita dengarkan di Youtube.
Syairnya dalam bahasa Jawa, sbb.:
Gusti, kula nyuwun saras: sasaring sukma - resiking marasGusti, kula nyuwun tamba: tambaning jiwa - segering ragaGusti, kula nyuwun seneng: senenging manah - tulaking serengGusti, kula nyuwun sabar: sabaring budi - nalar jembar
Artinya:
Tuhan, kami mohon kesembuhan: sembuhnya jiwa - bersihnya hatiTuhan, kami mohon obat: obatnya jiwa - segarnya ragaTuhan, kami mohon cerah ceria: gembiranya hati - penangkal dengkiTuhan, jami mohon kesabaran: sabarnya budi - luasnya wawasan
Meskipun syair ini dibuat pada jaman dulu, tapi itu cukup menggambarkan situasi saat ini, masa pandemi dan segala macam serba-serbi tingkah laku manusia, yang akrab dengan dengki, sempitnya wawasan, ketidaksabaran dan ketidakbersihan hati (senang mencobai orang lain untuk kepuasan diri sendiri).
Sepetik lagu ini bisa jadi jadi bahan renungan, supaya kita dimampukan oleh Sang Pemilik Dunia, Sang Esa, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kita orang muda Katolik, bahwa orang Katolik punya tokoh² budayawan yang bisa mengajak berpikir lebih luas, tidak mempersempit wawasan hanya kelompok tertentu saja paling benar. Selamat merenungi keadaan dengan bijak, dan berbuat untuk perubahan yang lebih baik. Tuhan memberkati kita semua, berkah dalem. -cpr-
0 Komentar
Tinggalkanlah jejak dengan berkomentar, maka saya akan berkunjung balik.
Jangan lupa difollow ya.
Terima kasih, berkah dalem. GBU